MIMPI PAGI
YANG BERKABUT
mhd. yusuf sman 1 kecamatan akabiluru
A
|
ku
duduk terdiam di depan kelas, di pagi hari yang berkabut dan tanpa seseorang
pun di sampingku. Sekilas kuingat, sosok gadis desa yang penuh bekas kudis dan
itu tampak jelas di mukanya. Gadis itu kujumpai
saat ikut kemping tahunan. Gadis itu sangat baik, dia adalah Ane. Walau pun Ane
wajahnya menakutkan, tapi Ane tetap senyum ria padaku. “kenapa kubisa ketemu gadis ini ya?” tanyaku
dalam hati.
Pengorbanan Ane padaku sangatlah
berguna bagiku di hari itu dan kini sudah berubah drastis di saatku mulai
membuka sesuatu barang yang beharga baginya. Semuanya bermula dari kesesatanku
yang hampir masuk ke hutan terlarang, kebetulan Ane sedang mencari kayu bersama
Bobi, adik laki-lakinya. Tampaknya, Ane sangat bangga melihat diriku yang bersinar
terang di ufuk matanya. Keadaan genting ini pun kumanfaatin sebisaku.
Ane menjelaskan semua yang berhubungan dengan
hutan itu dan sebab orang tidak boleh masuk kesana. Pertama, ada sebuah desa
lama yang hilang. Sebab kepastian kehilangan desa tersebut dikarenakan semua
penduduk mengalami wabah penyakit yang meluas. Yang tersisa dari pernyakit itu
hannyalah Ane seorang. Kedua, ada aliran sungai yang airnya tampak dalam dan
bisa memakan korban bagi siapa yang mau lewat. Ketiga, bagi yang sudah masuk ke
dalam desa tersebut, tidak bisa lagi keluar dan sulit untuk keluar, walau bagai
mana pun caranya upaya untuk keluar.
Dari semua ulasan cerita Ane,
kumengetahui semua kupasan ceritanya dan aku penasaran dan berencana masuk ke
hutan terlarang tersebut bersama Andit, Tio, dan Sindi, mereka adalah temanku.
Tapi, hari sudah mulai gelap dan aku diantar Ane bersama adik laki-lakinya ke
perkemahan dengan selamat. Kedatanganku di tenda, rupanya sudah menunggu lama
dan tampak panik. Dari sudut perkemahan datang Pak Sido yang sedang marah besar padaku.
“Hei Kau! dari mana saja, ha?”
tanya Pak Sido dengan emosi.
“Tidak ada kemana-kemana Pak,
barusan kutersesat di hutan dan untung ada
nona ini yang masih mau menolong aku Pak.” jawabku dengan santai.
“Apa benar apa yang dia katakan
itu.” tanya Pak Sido ke Ane.
“Ii..i.i ya Pak.” jawab Ane
sambil ragu
Marah Pak Sido padaku, hampir
membuatku takut. Tapi, kuberusaha untuk menenangkan diriku agar tampak jelas didengar
bagi Pak Sido saatku berbicara padanya.
***
Esok sore, kumencoba masuk
kedalam hutan bersama Adit, Tio, dan Sindi. Sebelum keberangkatan, mereka
semuanya pada takut. Tapi, kumampu membujuk mereka dan alhasil, akhirnya kuberhasil membawa mereka untuk masuk ke dalam
hutan yang di katakan angker itu. Awal mula masuk hutan terlarang itu sudah
menakutkan. Apalagi, kedatanganku bersama Sindi, Tio, dan Adit di sambut oleh
sosok burung gagak hitam yang lagi bertengger di atas pohon beringin sambil
berbunyi.
Bunyian burung gagak yang terdengar
keras sambil bertengger
di atas pohon beringin, membuat rambut di bahuku jadi merinding dan tidak kuat
rasanya untuk masuk lebih dalam. Tapi, kuberusaha untuk menguatkan hatiku
supaya masuk lebih dalam karena diriku sudah terlanjur penasaran dari penjelasan Ane kemaren, walau pun
kusudah mengetahui akibat jika kumencoba untuk masuk.
“Aku capek teman-teman, kubersandar sebentar
dulu ya.”
Ngeluhku.
“Kau begitu lesunya, baru segitu sudah capek.
Percuma saja kau membawa kita kesini, kalau keadaannya terus seperti ini” jawab
Adit padaku.
Tubuhku kini merasa dingin dan tubuhku
tersentak-sentak. Dari apa yang kurasakan, muncul sebuah peristiwa kepada
benakku. Peristiwa itu membayangkan kepadaku semua peristiwa masa lalu. Salah
satunya, bayangan tentang kehilangan penduduk desa yang
merupakan ulah Mbah Brono yang merupakan penghuni hutan ini.
Mbah Brono merupakan dukun yang
suka menyebarkan penyakit jika hatinya lagi marah besar sama seseorang salah
satunya Jirio. Mbah Brono, merupakan ayah Ane yang merasa kesal terhadap warga
kampung ciledok yang sudah memperkosa Ane di tepi sungai, kemudian meberikan
daun jilatang. Daun jelatang yang di kasih Jirio kepada muka Ane yang berusaha
untuk minta pertolongan pada seseorang, membuat mukanya jadi gatal tidak
kearuan.
Rasa tidak terima Mbah Brono terhadap anaknya
dan itu tidak ada satu pun yang mengakui dari kampung tersebut. Warga kampung
yang tidak mau mengakui, maka Mbah Brono melakukan pesugihan dan itu dimulai tepat
pada malam purnama penuh maka terseberlah semua penyakit yang serupa. Penyakit
yang di rasakan Ane. Penduduk pun meninggal dunia di karenakan tiada obat untuk
menalarkan penyakit yang sudah di sebarkan oleh Mbah Brono. Tapi, Ane selamat
karna ayahnya sendiri ada obat peyanawarnya walau pun masih ada bekasnya. Semakin
banyaknya warga kampung meninggal dunia maka tidak satu pun di antara mereka
dikuburkan, maka setiap malam terdengar bunyian arwah berkentayangan yang
merasakan kesakitan.
Teman-temanku bertanya. “Kamu
kenapa, seperti orang kerasukan saja.” Dari pertanyaan mereka, kumenjelaskan
kepada mereka apa yang barusan kurasakan.
Beberapa jarak dari burung gagak
itu. Tio sempat melihat gadis cantik yang lagi pakai kain panjang yang
dililitkan ketubuhnya serta membawa cucian yang di pingkulnya. Mata Tio yang
terus memandang gadis yang berjalan sambil berlenggak-lenggok, dan dia tidak
sadar telah terpukai dan menuruti langkah gadis tersebut. Dengan cepat,
kurangkul tangan Tio dengan keras yang dibantu Sindi, sambil bertanya.
“Kenapa kau seperti itu melihatnya, sampai
sampai kau tidak sadar?.”
“Biasa kan. Dia cewek cantik
sedangkan aku sendiri cowok, tentu kuterpukau melihatnya dan seksi pula. Kuyakin,
siapa pun yang melihatnya pasti terpesona melihatnya, iya kan?”
“Iya juga, tapi ini beda. Disini
hutan bukan di kota. Siapa tahu cewek yang kau lihat itu bukan manusia,
bagaimana?” tanyaku balik sambil menakut-nakutinya
Langkah demi langkah, kutelusuri
jalan yang tiada pasa. Tepat disamping pohon pisang, terdapat gubuk bambu.
Gubuk itu adalah tempat kediaman Ane, cewek yang kujumpai saat tersesat di
hutan kemaren.
Ane memberikan tumpangan padaku
dan teman-teman yang ikut bersamaku. Sekilas, Ane bertanya “Kenapa Kamu bisa masuk
ke dalam hutan ini? padahal kemaren sudah kukatakan dan tidak bisa masuk
sembarangan.” Itu merupakan kata-kata yang hampir mengurung niatku untuk
melanjutkan perjalanan.
Sepintas kumelihat, Ane sedang
memperhatikanku sejak dari tadi. Tapi, tatapan Ane yang tajam padaku tidak
kuhiraukan.
Dengan nada tinggi, Ane
memperingatiku untuk menghampiri lemari tua yang terletak tepat di sudut gubuk
dan itu tampak menakutkan bagiku.
“Jangan harap kamu untuk tidak
menghampiri lemari itu, mengerti!. Apa pun alasanya.”
“Iya, kumengerti.”
Bunyian gagak kini terdengar
jelas ditelingaku, saat kumulai tertidur. Tapi, di balik kain pintu, tampak bayangan
terang yang menghampiriku. Kini bayangan kulihat, sudah mulai membuka kain
gorden pintu bewarna hijau dan sosok
bayang itu sudah muncul di hadapanku. Dia adalah Ane, yang sengaja masuk ke
tempat tidurku untuk memberikanku sebatang lilin putih dan selimut tipis
kepadaku serta untuk Sindi, Tio dan Adit.
Malam tidurku terus dihantui,
dari gemuru angin dan pintu jendela yang terbuka sendirinya serta bisikan
kepadaku untuk datang ke aliran sungai ciluap.
TIDAK !...
Kutersintak
dengan keras yang ketakutan dari mimpiku
dengan napas terengah-engah serta tubuhku sudah penuh dengan keringgat
ketakutan.
Di sampinku, kulihat Adit dan Tio sedang
menikmati tidur dengan nyeyak sambil ngorok dan berpelukan kaki dengan memakai
celana hawai dengan gambar bunga mawar merah. Kecuali Sindi yang tidur di
sebelah kananku. Tapi, sindi tidur yang agak jauh dariku secara dirinya cewek
dan aku adalah cowok dan tidak mungkin untuk bersama-sama tidur.
***
Esok pagi hari, kumembangunkan
Tio, Sindi, Adit yang tidur berdekatan bersamaku. Kumencoba untuk minta maaf
pada Tio, rupanya Tio juga mau memaafkanku. Komflik yang terjalin di antara
kita, Kucoba mengajaknya untuk berpetualangan selanjutnya. Kusedikit penasaran
terhadap mimpiku semalam, tentunya sungai yang memangilku saatku tertidur.
Namun tidak sungai itu saja yang
membuatku penasaran. Tapi, lemari yang berdiri rapuh, namun lemari itu sudah di
beri paku beton. Apa sebabnya itu terjadi, kutidak mengetahuinya.
Sifat nakalku, kini mulai
terjalin dengan cemerlang. Kucoba untuk membukanya dengan palu yang tampak tak
sengaja di bawa meja rotan.
KREK...KREK..KREK
BUARRR! lemari yang kupenasaran
selama ini, kini terbuka jelas di hadapanku
WHUAK...WHUAK Sindi, Tio, Adit
dan termasuk kusendiri, mual tak kearuan saat peti terbuka dan itu adalah Ayah,
Ibunya, yang sedang keadaan busuk dan itu sengaja di lakukan Ane. Tujuan Ane
melakukan itu terhadap keluarganya, agar dirinya merasa selalu dekat dengan
keluarganya.
PLAK! pintu terbuka dengan keras
“Apa yang kau lakukan terhadap
lemari itu. Kini kau sudah melanggar dari pejanjian kemaren dan mulai sekarang,
kau tahu apa akibatnya.”
“Tenang dulu Ne, Kita-kita cuman
penasaran terhadap lemari itu, serta lemari itu juga mengeluarkan baun yang
tidak enak saat kami melihatnya. Maaf kan lah kita untuk kedua kalinya.”
“Sebelumnya sudah kukatakan,
tidak ada alasan untuk mengelak. Sekarang, kau semua keluar dari tempatku,
CEPAT!”
Dengan jarak yang tidak jauh
dari gubuk Ane, kupergi bersama Tio dan Adit dan Sindi meninggalkan gubuk,
tempat kediaman Ane.
Tepat di hadapanku, tampak
seperti bekas aliran kali yang luas serta tidak ada air sedikit pun. Adit pun
bertanya padaku ”Rio, sepertinya ini yang sungai ciluap itu.” dari pertanyaan
Adit itu, kuterdiam sambil memikirkan apa yang di tanyakan Adit barusan padaku.
“Apa iya Dit? Kau ngacok lagi ya. Tidak mungkin ini
sungainya. Padahal sungai ini tiada airnya.
Padahal sungai tersebu, sangat dalam airnya dan kita bisa tenggelam di
buatnya.”
Rasa penasaran yang selalu
menyelubungi otak, Tio mencoba masuk dengan perlahan-lahan dan kini Tio sudah
berada tepat di tengah-tengahya.
“Teman-teman, mari kesini!
Sepertinya tidak ada apa-apa.”
“Kau yakin Tio.” jawabku dengan
kaget.
Di saat aku dan Adit sudah
sampai di bibir bekas aliran sungai yang barusan di bicarakan, Adit menahan
langkahku. Tapi, tetap berusaha berdiam diri di sebelah bambu yang tidak jauh
jauh jaraknya dariku.
“Tunggu Yo, Sepertinya ada bunyi
gemuru air. Coba kau dengarkan sekarang, benar kan.”
“Benar apa yang kau katakan Dit.
Kalau boleh tahu, dari mana asal bunyian tersebut. Padahal awan tidak mendung.”
“Lihat di atas Yo, ada seperti
air besar datang.”
“Mana? O....iya dan itu tampak
besar dan airnya keruh pekat.”
SREET....
“Awas Tio.... Ada air besar dari
atas!” teriak Adit, Sindi dan aku pada Tio
“Tidak mungkin, di sini kan
tidak ada air dan tanahnya kering berbatu.”
BUAR....
AAAAAK....teriak Tio sambil
kaget
“Tolong Dit, tolong Yo, aku
tidak bisa berenang.”
Situasi yang mulai rumit,
kutidak tahu apa yang kurasakan. Kutakut apa yang terjadi pada Tio selanjutnya
dan apa kata-kata orang padaku. Ternyata apa yang di katakan Ane padaku, memang
betul.
TIDAK!......teriakku dengan
penyesalan.
“Kenapa kusudah berani membawa
mereka kesini. Kalau keadaanya seperti ini akan terjadi, tidak akan kubawa
mereka kesini. Ini tidak sesuai dengan pikiranku sebelumnya.” rasa menyesalku
sambil menangis.
“Sepertinya ada memanggilku
dengan lembut, siapa ya?”
“Kenapa tidak Yo?” tanya Monic
padaku
“Tio itu siapa dan kenapa kau
menagis barusan, kau lagi ngigo ya?”
tambah Monic
“Tidak ada. Apa aku lagi tertidur
ya?” tanyaku pada monic sambil mengusap mata.
“Oooo ternyata Monic yang
berusaha membangunkanku dari mimpi buruk yang menyeramkan.” kataku dalam hati.
HAHAHA...
teriak semua teman-teman yang lagi berkumpul di hadapanku bersama ibuk Yuliarna
yang merupakan guru yang mengajar bahasa indonesia.
Kini kuterdiam malu yang sudah
tertidur dengan mimpi yang menyeramkan. Tubuhku yang sudah penuh dengan
keringat ketakutan saat tertidur dan kucoba untuk menukar pakaianku karna baju
seragam dari sekolah sudah penuh dengan keringat dan sedikit baun apek.
Dalam proses pembelajaran,
mereka semua termasuk Ibuk Yuliarna, pada bertanya-tanya padaku apa yang
terjadi pada diriku barusan. Aku menjelaskan semuanya apa yang kurasakan pada
mimpiku selama satu jam pelajaran yang kebetulan sedang mengikuti proses
pembelajaran bahasa indonesi.***
0 komentar:
Posting Komentar